Tuesday, December 22, 2009

Beginilah Jeritan Hati Prajurit AS di Afghanistan

Kamis, 08/10/2009 17:49 WIB Cetak | Kirim

Berperang dengan tujuan yang tidak jelas membuat banyak tentara AS yang ditugaskan di Afghanistan mengalami depresi berat dan kekecewaan yang mendalam. Mereka banyak yang merasa putus asa dan cuma satu yang mereka inginkan, kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga.

Pengakuan itu datang dari Kapten Jeff Masengale dari Divisi Gunung ke-10 Batalion Infanteri 2-87 yang dilansir The Times edisi Kamis (8/10). Depresi dan rasa putus asa yang dalam, kata Jeff, membuat moral pasukan AS menurun drastis karena apa tujuan perang ini sebenarnya, tidak jelas.

"Mereka sudah lelah, tertekan, bingung dan ingin segera melewati masa-masa ini," tambah Kampten Sam Rico dari Batalion Artileri Divisi 4-25. Menurut Kapten Rico, tentara-tentara AS merasa telah membahayakan diri mereka sendiri dengan berbagai target yang dibebankan pada mereka.

Tahun 2009 adalah tahun terburuk bagi militer AS selama hampir delapan tahun invasinya ke Afghanistan. Taliban makin agresif melakukan perlawanan yang menyebabkan makin banyaknya korban di pihak pasukan AS. Tahun ini saja, tercatat 394 tentara asing tewas di Afghanistan, 236 diantaranya tentara AS.

Mayoritas tentara AS tidak paham dengan tujuan perang negaranya di Afghanistan. "Yang kami rasakan sekarang, bahwa kami sudah kalah," aku Raquime Mercer yang baru saja kehilangan seorang rekannya dalam sebuah pertempuran pekan kemarin.

"Saya tidak tahu mengapa kami harus ke sini. Saya ingin tahu dengan jelas tujuan kami di sini, jika kami harus terluka atau mati di sini," tukas Mercer.

"Para prajurit menginginkan jawaban yang tepat, selain jawaban bahwa mereka harus menghentikan Taliban. Karena hampir tidak mungkin untuk membungkam Taliban. Sulit menangkap orang yang tidak bisa Anda lihat," sambung Mercer.

Pernyataan Mercer diamini oleh Sersan Christopher Hughes yang juga mengaku tidak tahu pasti apa sebenarnya misi mereka di Afghanistan. "Para tentara di sini sudah capek, frustasi, takut. Banyak tentara yang takut keluar, tapi mereka harus keluar karena tuntutan tugas," tambah Sersan Erika Cheney.

Erika mengungkapkan, banyak tentara yang jadi gampang marah, tidak bisa tidur dan mengalami mimpi buruk. "Afghanistan merupakan misi yang membuat kami frustasi," aku Letnan Peter Hjelmstad.

Selain tewas, banyak tentara AS yang dipulangkan setelah bagian tubuhnya diamputasi, mengalami luka bakar parah atau luka lainnya yang menyebabkan cacat tubuh permanen. Perang AS di Aghanistan sama halnya di Irak, telah banyak membuat keluarga para prajuritnya berantakan. Banyak diantara keluarga prajurit yang berakhir dengan perceraian.

"Yang paling mereka inginkan adalah pulang ke rumah dengan selamat, kembali berkumpul dengan isteri dan anak-anak. Mengunjungi keluarga yang suami atau ayahnya tewas di sini," tandas Kapten Masengale. (ln/iol)

Wednesday, November 4, 2009

Kenapa Allah membinasakan suatu kaum?

Dalam Al Quran, banyak sekali diceritakan kisah-kisah umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah karena mereka mengingkari utusan-Nya dan melakukan berbagai penyimpangan yang telah dilarang. Berikut adalah kaum-kaum yang dibinasakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

kisah umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah karena mereka mengingkari utusan-Nya dan melakukan berbagai penyimpangan yang telah dilarang

1.Kaum Nabi Nuh

Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun, namun yang beriman hanyalah sekitar 80 orang. Kaumnya mendustakan dna memperolok-olok Nabi Nuh Alaihi Salam. Lalu, Alloh mendatangkan banjir yang besar, kemudian menenggelamkan mereka yang ingkar, termasuk anak dan istri Nabi Nuh (QS. Al Ankabut:14)

2. Kaum Nabi Hud

Nabi Hud diutus untuk kaum 'Ad. Mereka mendustakan kenabian Hud Alaihi Salam. Lalu Alloh mendatangkan angin yang dahsyat disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga mereka tertimbun pasir dan akhirnya binasa (QS. At Taubah : 70, Al Qamar : 18, Fushshilat : 13, An Najm : 50, Qaaf : 13)

3. Kaum Nabi Shaleh

Nabi Shaleh diutuskan Alloh kepada kaum Tsamud. Nabi Shaleh diberi sebuah mukjizat seekor unta betina yang keluar dari celah batu. Namun mereka membunuh unta betina tersebut sehingga Alloh menimpakan azab kepada mereka (QS. Al Hijr : 80, Huud : 68, Qaf : 12)

4. Kaum Nabi Luth

Umat Nabi Luth terkenal dengan perbuatan menyimpang, yaitu hanya mau menikah dengan pasangan sesama jenis / liwath (homoseksual dan lesbian). Kendati sudah diberi peringatan, mereka tak mau bertobat. Alloh akhirnya memberikan azab kepada mereka berupa gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu sehingga hancurlah rumah-rumah mereka. Dan, kaum Nabi Luth ini akhirnya tertimnbun dibawah reruntuhan rumah mereka sendiri. (QS. As Syu'ara :160, An Naml : 54, Al Hijr : 67, Al Furqan : 38, Qaaf : 12)

Umat Nabi Luth terkenal dengan perbuatan menyimpang, yaitu hanya mau menikah dengan pasangan sesama jenis

5. Kaum Nabi Syuaib

Nabi Syuaib diutuskan kepada kamu Madyan. Kaum Madyan ini dihancurkan oleh Alloh karena mereka suka melakukan penipuan dan kecurangan dalam perdagangan. Bila membeli, mereka minta dilebihkan dan bila menjual selalu dikurangi. Alloh pun mengazab mereka dengan hawa panas yang teramat sangat. Kendati mereka berlindung ditempat yang teduh, hal itu tak mampu melepaskan rasa panas. Akhirnya merekapun binasa. (QS. At Taubah : 70, Al Hijr : 78, Thaaha : 40, dan Al Hajj : 44)

Kaum Madyan ini dihancurkan oleh Alloh karena mereka suka melakukan penipuan dan kecurangan dalam perdagangan

Selain kepada kaum Madyan, Nabi Syuaib juga diutus oleh Alloh kepada penduduk Aikah. Mereka menyembah sebidang lahan tanah yang pepohonannya sangat rimbun. Kaum ini menurut ahli tafsir disebut pula sebagai penyembah hutan lebat (Aikah). (Qs. Al Hijr : 78, Asy Syua'ara : 176, Shaad : 13, Qaaf : 14)

6. Firaun

Kaum Bani Israil sering ditindas oleh Firaun. Alloh mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk memperingatkan Firaun akan azab Alloh. Namun, Firaun malah mengaku dirinya sebagai tuhan. Ia akhirnya tewas di Laut Merah dan ratusan tahun kemudian jasadnya ditemukan sebagai ibrah atau pelajaran kepada umat manusia akan keburukan sifat Firaun ini, bahkan Alloh pun mengabadikannya dalam Al Quran. Hingga kini Firaun masih bisa disaksikan di museum mumi di Mesir. (Qs. Al Baqarah : 50, Yunus : 92)

7. Ashab Al-Sabt

Mereka adalah segolongan orang fasik (orang yang tahu ilmu agama, namun mengabaikannya atau pura-pura tidak tahu) yang tinggal di kota Eliah di Palestina. Mereka melanggar perintah Alloh untuk beribadah pada hari Sabtu. Alloh menguji mereka dengan memberikan ikan yang banyak pada hari Sabtu dan tidak ada ikan pada hari lainnya. Mereka meminta rasul Alloh untuk mengalihkan ibadah pada hari lain, selain Sabtu. Mereka akhirnya dibinasakan dengan dijadikan kera yang hina oleh Alloh Jala Wa 'Ala. (QS. Al A'raaf :163)

8. Ashab Al-Rass

Rass adalah nama sebuah telaga yang kering airnya. Nama Al-Rass ditujukan pada suatu kaum. Konon, Nabi yang diutus kepada mereka adalah Nabi Shaleh, namun ada pula yang menyebutkan Nabi Syuaib. Sementara itu yang lain hanya menyebutkan, utusan itu bernama Handzalah bin Shinwan (adapula yang menyebutkan bin Shofwan). Mereka menyembah patung, ada pula yang menyebutkan bahwa pelanggaran yang mereka lakukan karena mencampakkan utusan yang dikirim kepada mereka ke dalam sumur sehingga mereka dibinasakan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala. (Qs. Al Furqan : 38, Qaaf : 12)

9. Ashab Al-Ukhdudd

Ashab Al-Ukhdudd adalah sebuah kaum yang menggali parit dan menolak beriman kepada Alloh Jala Wa 'Ala, termasuk raja-rajanya. Sementara itu, sekelompok orang yang beriman diceburkan ke dalam parit yang telah dibakar, termasuk seorang wanita yang telah menggendong seorang bayi. Mereka dikutuk oleh Alloh Subhanu Wa Ta'ala. (Qs. Al Buruuj : 4-9)

10. Ashab Al-Qaryah

Menurut sebagian ahli tafsir, Ashab Al-Qaryah (suatu negeri) adalah penduduk Anthakiyah. Mereka mendustakan rasul-rasul yang diutus kepada mereka. Allah membinasakan mereka dengan sebuah suara yang sangat keras. (Qs. Yaasiin : 13)

Allah membinasakan mereka dengan sebuah suara yang sangat keras. (Qs. Yaasiin : 13)

11. Kaum Tubba'

Tubba' adalah nama seorang raja bangsa Himyar yang beriman. Namun kaumnya ingkar kepada Alloh hingga melampaui batas. Maka, Alloh menimpakan azab kepada mereka hingga binasa. Peradaban mereka sangat maju, salah satunya adalah bendungan air. (Qs. Ad Dukhan : 37)

12. Kaum Saba

Mereka diberi berbagai kenikmatan berupa kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan untuk kemakmuran rakyat Saba. Karena mereka enggan beribadah kepada Alloh walau sudah diperingatkan oleh Nabi Sulaiman Alaihi Salam, akhirnya atas izin Alloh-lah akhirnya terjadi banjir bandang yang luar biasa besar (Al-Arim) akibat hancurnya bendungan Ma'rib. (Qs. Saba : 15-19)



Nah, kalo sudah tahu, masih berani melanggar perintah Alloh?

melanggar perintah Alloh dan Rasul-Nya tidak pernah sedikitpun membawa kebaikan bagi kehidupan dunia, apalagi kehidupan yang lebih abadi di surga kelak.

Demikian kawan-kawan muda Voa-islam.com, melanggar perintah Alloh dan Rasul-Nya tidak pernah sedikitpun membawa kebaikan bagi kehidupan dunia, apalagi kehidupan yang lebih abadi di surga kelak. Bahkan kalo kawan-kawan tahu, kenikmatan dunia ini hanya Alloh curahkan kepada manusia 1% saja, itupun menjadi rebutan 5 milyar manusia dimuka bumi, sedangkan 99% nikmat Alloh akan curahkan kepada umatnya yang beriman kelak disurga. Subhanalloh...

(rojul/voa-islam.com)

Dari berbagai sumber : Republika, dll.

PENGHARAMAN KENDURI ARWAH, TAHLILAN, YASINAN & SELAMATAN

Amalan mengadakan kenduri arwah dengan pembacaan surah al-Fatihah, Surah al- Ikhlas, Surah al-Falaq, surah an-Nas, surah Yasin dan beberapa ayat yang lain secara beramai-ramai amat bertentangan dengan nas al-Quran, hadis-hadis sahih dan athar para sahabat. Membaca al-Quran berjamaah (beramai-ramai) dengan mengangkat suara sehingga tidak ketahuan bunyi bacaan dan siapa pendengarnya telah ditegah oleh Allah di dalam firmanNya:

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.

“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.

AL-A’RAF, 7:204.

Begitu juga al-Quran diturunkan dari langit bukan untuk dibacakan kepada orang yang sudah mati, tetapi untuk orang yang masih hidup dan wajib dibaca oleh mereka yang masih hidup, kerana orang mati sudah tidak mampu lagi mendengar perintah al-Quran sebagaimana firman Allah:

اِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى



“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar”.

AN-NAML, 27:80.



وَمَا يَسْتَوِى اْلاَحْيَآءُ وَلاَ اْلاَمْوَاتُ ، اِنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ يَّشَآءُ ، وَمَا اَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَّنْ فِى الْقُبُوْرِ.

“Dan tidak sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati, sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendakiNya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang dalam kubur dapat mendengar”.

Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam pula telah bersabda bahawa apabila seseorang yang telah mati, sama ada para nabi, para rasul atau para wali maka semua tangungjawab dan segala urusannya dengan persoalan dunia telah tamat, selesai dan terputus sehingga tiada kaitan dan hubungannya lagi dengan dunia dan para penghuninya kecuali tiga perkara sebagaimana sabda baginda:

اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَـان اِنـْقـَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ ، اَوْعِلْمٍ يـُنـْتـَفَعُ بـِهِ ، أوْوَلـَدٍ صَالحٍ يـَدْعُـوْلَهُ

"Apabila mati anak Adam, putuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: Sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak soleh yang mendoakannya."6 [1]

Walaupun hadis di atas hanya menyebut doa dari anak yang soleh untuk ibu bapanya, namun permohonan doa kaum muslimin di dunia yang masih hidup untuk mereka yang sudah mati juga diharuskan. Walau bagaimanapun, doa dari anak yang soleh adalah berpanjangan dan tidak terputus kerana anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia yang keluar dari tulang sulbinya.

Anak yang soleh disebut oleh Nabi di dalam sabdanya sebagai penyambung amal jariah setelah kematian orang tuanya. Sebab itulah Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam menggalakkan orang-orang beriman supaya mengahwini perempuan-perempuan yang solehah, yang subur dan pandai memelihara anak-anaknya agar anak-anak yang ditinggalkan akan menjadi penyambung amal jariah dan mendoakannya. Sehingga tidak dipertikaikan oleh kalangan para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang bermanhaj Salaf as-Soleh bahawa amalan ibu-bapa yang terputus sewajarnya disambung oleh anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Apa yang perlu diberi perhatian: "Hanya anak-anaknya sahaja, bukan orang lain" yang dibolehkan menyambung amal orang tuanya yang terputus sebagaimana yang dapat difahami dari dalil-dalil yang berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ اَفَاَقْضِيْهِ عَنْهَا ؟ فَقَالَ : لَوْ كَانَ عَلَى اُمِّكَ دَيْنٌ اَكُنْتَ قَاضِيْهِ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ . قَالَ : فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ اَنْ يُقْضَى.

Dari Ibn Abbar radiallahu ‘anhu berkata: Seorang lelaki datang kepada nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: Ya Rasulullah! Ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berhutang puasa sebulan belum dibayar, apakah boleh aku membayarnya untuk ibuku? Baginda menjawab: Andaikata ibumu menanggung hutang apakah engkau yang membayarnya? Beliau menjawab: Ya. Maka baginda bersabda: Hutang kepada Allah lebih patut dibayarnya”.7 [1]



عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اقْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوْصِ وَاَظُنُّهَا لَوْتَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ .

“Dari ‘Aisyah radiallahu ‘anhu berkata: Bahawasanya seorang lelaki datang kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan berkata: Wahai Rasulullah! Ibuku telah mati mendadak, sehingga dia tidak berkesempatan untuk berwasiat dan saya rasa andaikan ia mendapat kesempatan berkata tentu dia berwasiat (supaya bersedekah). Adakah ia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya? Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Ya”.8 [1]



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ امْرَاَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَ تْ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اَنَّ اُمِّيْ نَذَرَتْ اَنْ تَحِجَّ فَلَمْ تَحِجَّ حَتَّى مَاتَتْ اَفَاَحِجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ حُجِّيْ عَنْهَا . اَرَاَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ اَكُنْتَ قَاضِيَتَهُ ؟ اُقْضُوْا اللهَ فَاللهُ اَحَقُّ بِالْقَضَاءِ وَفِى رِوَايَةٍ : فَاللهُ اَحَقُّ بِالْوَفَاءِ.

"Dari Ibn Abbas radiallahu 'anhuma berkata: Seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada nabi Sallallahu 'alaihi wasallam bertanya: Ibuku nazar akan mengerjakan haji, tetapi dia telah meninggal sebelum menunaikan nazarnya apakah boleh aku menghajikannya? Baginda menjawab: Ya, hajikan untuknya, bagaimana sekiranya ibumu menanggung hutang, apakah engkau yang membayarnya? Bayarlah hak Allah, kepada Allah lebih layak orang membayarnya".9 [1]



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا . اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : اَنَّ اَبِىْ مَاتَ وَعَلَيْهِ حَجَّةُ اْلاِسْلاَمِ اَفَاَحُجَّ عَنْهُ ؟ فَقَالَ : اَرَاَيْتَ لَوْ اَنَّ اَبَاكَ تَرَكَ دَيْنًا عَلَيْهِ اَتَقْضِيْهِ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ . قَالَ : فَاحْجُجْ عَنْ اَبِيْكَ .

"Dari Ibnu Abbas radiallahu 'anhu berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa-sallam lalu bertanya: Ayahku telah meninggal dan belum mengerjakan haji, apakah boleh aku menghajikannya? Baginda menjawab: Bagaimana jika ayahmu meninggalkan hutang, apakah kamu yang membayarnya? Jawabnya: Ya. Baginda bersabda: Maka hajikanlah untuk ayahmu".10 [1]



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : تُوُفِّيَتْ اُمُّ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا . فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ تُوُفِيَّتْ وَاَنَا غَائِبٌ عَنْهَا اَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ . قَالَ فَاِنِّيْ اُشْهِدُكَ اَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَنْهَا

"Dari Ibn Abbas radiallahu 'anhu berkata: Ibu Sa'ad bin 'Ubadah ketika meninggal sedang Sa'ad tidak ada. Lalu Sa'ad berkata: Wahai Rasulullah! Ibuku telah meninggal diwaktu aku tidak ada di rumah, apakah kiranya akan berguna baginya jika aku bersedekah? Baginda menjawab: Ya!. Berkata Sa'ad: Saya persaksikan kepadamu bahawa kebun kurma yang berbuah itu sebagai sedekah untuknya".11 [1]



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: جَاءَ تْ اِمْرَاَةٌ مِنْ خَشْعَمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُـوْلَ اللهِ ، اَنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ اَدْرَكَتْ اَبِيْ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ . اَفَاَحُجُّ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ . وَذَلِكَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ.

"Dari Ibn Abbas radiallahu 'anhu berkata: Seorang wanita dari suku Khasy'am datang kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa-sallam lalu bertanya: Ya Rasulullah! Kewajipan Allah atas hambaNya berhaji telah menimpakan ayahku yang sangat tua sehingga tidak dapat berkenderaan, apakah boleh aku menghajikannya? Baginda menjawab: Ya boleh. Dan pertanyaan ini terjadi ketika haji al-Wada'.12 [1]



عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اَبِيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يَكْفِى عَنْهُ اَنْ اَتَصَدَّقَ عَنْهُ؟ قَالَ : نَعَمْ.

“Dari Abi Hurairah radiallahu anhu berkata: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan berkata: Ayahku telah meninggal dan dia meninggalkan harta dan tidak berwasiat, maka apa berguna baginya jika aku bersedekah untuk dia? Jawab baginda: Ya".13 [1]

Al-Quran menjadi garis panduan kepada mereka yang masih hidup. Dengan demikian, orang yang dapat mengambil panduan mestilah dari kalangan orang-orang yang masih hidup sahaja. Orang-orang yang telah mati sudah tidak memerlukannya lagi kerana kehidupannya telahpun berakhir di dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam surah Yasin bahawa:

اِنْ هُوَ اِلاَّ ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْنٌ . لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِريْنَ.

"Al-Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup".

YASIN, 36:69-70.

Anehnya, surah ini telah disalah gunakan dengan menjadikan bacaan dari yang hidup untuk si Mati dengan kepercayaan bahawa pahala bacaan dapat memberi manfaat kepada si Mati. Inilah sangkaan yang buruk terhadap kesempurnaan kitab Allah disebabkan kejahilan dan mengabaikan ilmu. Mereka tidak sedar untuk apa tujuan sebenar al-Quran diturunkan kepada manusia. Mereka melakukan sesuatu terhadap al-Quran tanpa keizinan dari Allah dan RasulNya sepertimana perbuatan Yahudi dan Nasrani terhadap kitab mereka yang akhirnya terjadi tambahan, perubahan dan pemansukhan kepada kitab mereka.

Secara yang tidak disedari, perkara seperti ini telah dilakukan juga oleh umat Islam dengan menambah-nambah, mereka-reka dan mengada-adakan amalan yang dicipta oleh mereka sendiri yang disangka baik, akhirnya ia membawa kepada perbuatan bid'ah dan dosa. Allah telah menerangkan akan ramainya manusia seperti ini lantaran berburuk sangka terhadap kesempurnaan al-Quran sehingga berani melakukan sesuatu terhadap al-Quran mengikut hawa hafsu mereka. Allah berfirman:

يَظُنُّوْنَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ.

"Mereka menyangka tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan orang-orang jahiliah".

ALI IMRAN, 3:154.

وَمَا لَهُمْ مِنْ عِلْمٍ اِنْهُمْ اِلاَّ يَظُنُّوْنَ.

"Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-menduga (menyangka) sahaja".

AL JAATSYIAH, 45:24

Di dalam al-Quran, terdapat banyak ayat-ayat yang menerangkan bahawa setiap insan hanya bertanggungjawab di atas apa yang telah diamalkan oleh dirinya sendiri semasa di dunia. Tidak ada keterangan bahawa seseorang itu akan memikul tanggungjawab di atas amalan yang dilakukan oleh orang lain, sama ada yang bersangkut-paut dengan dosa atau pahala sebagaimana keterangan ayat di bawah ini:

اَلاَّ تَزِرُوْا وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى ، وَاَنْ لَيْسَ لِلاِنْسَانِ اِلاَّ مَا سَعَى.

"Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahawasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan".

AN NAJM, 53:38-39.

Berkata al-Hafiz Imam Ibn Kathir rahimahullah:

وَ مِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الْكَرِيْمَةِ اِسْتَنْبَطَ الشَّافِعِى رَحِمَهُ اللهُ وَمَنِ اتَّبعُهُ اَنَّ الْقِرَاءَ ةَ لاَ يَصِلُ اِهْدَاء ثَوَابَهَا الْمَوْتَى لاَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلاَ كَسْبِهِمْ وَلِهَذَا لَمْ يُنْدَب اِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُمَّتَهُ وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ اَرْشَدَهُمْ اِلَيْهِ بِنَصٍ .

"Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafie rahimahullah dan para pengikutnya mengambil hukum bahawa pahala bacaan (al-Quran) dan hadiah pahala tidak sampai kepada si Mati kerana bukan dari amal mereka dan bukan usaha meraka (si Mati). Oleh kerana itu Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam tidak pernah mensunnahkan umatnya dan mendesak mereka melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada si Mati) walaupun dengan satu nas (dalil)".14 [1]

Al-Hafiz Imam as-Syaukani rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya:

لَيْسَ لَهُ اِلاَّ اَجْرُ سَعْيِهِ وَجَزَاءُ عَمَلِهِ وَلاَ يَنْفَعُ اَحَدًا عَمَلُ اَحَدٍ.



"Seseorang tidak akan mendapat melainkan balasan atas usahanya dan ganjaran amalan (yang diamalkannya sendiri), ia tidak memberi manfaat kepada seseorang akan amalan orang lain."15 [1]

Menurut Imam Ibn Kathir rahimahullah pula ayat di atas bermaksud:

كَمَا لاَيحْملُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ كَذَلِكَ لاَيَحْصلُ مِنَ اْلاَجْرِ اِلاَّ مَا كَسَبَ هُوَ نَفْسَهُ.

"Sebagaimana tidak dipikulkan (tidak dipertanggung-jawabkan) dosa orang lain begitu juga ia tidak mendapat ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan (usahakan) sendiri (semasa di dunia)".16 [1]

Imam Ibn Kathir rahimahullah seterusnya menegaskan bahawa:

اِنَّ النُّفُوْسَ اِنَّمَا تُجَازَى بِاَعْمَالِهَا اِنْ خَيْرً فَخَيْرًا وَاِنْ شَرَّا فَشَرًّا

"Sesungguhnya manusia itu hanya menerima balasan menurut amalnya, jika baik maka baiklah balasannya dan jika buruk maka buruklah balasannya".17 [1]



Dan Imam Ibn Kathir berkata lagi:



لَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ اَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَلَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا اِلَيْهِ.

"Tidak pernah disalin (diterima) perkara itu (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun dari seorang dari kalangan para sahabat radiallahu 'anhum. Jika sekiranya ia suatu yang baik pasti mereka telah mendahului kita melakukannya".18 [1]

Imam at-Tabari rahimahullah pula menafsirkan ayat ini:

اَنَّهُ لاَ يُجَازَى عَامِلٌ اِلاَّ بِعَمَلِهِ خَيْرًا كَانَ اَوْ شَرًّا

"Bahawasanya seseorang itu tidak menerima balasan dari amalnya, melainkan apa yang telah dikerjakan, sama ada (amalnya) itu baik atau buruk".19 [1]

Dan seterusnya Imam at-Tabari menjelaskan lagi:

لاَيُؤَاخَذُ بَعُقُوْبَةِ ذَنْب غَيْرُ عَامِلِهِ وَلاَ يُثَابُ عَلَى صَالِحٍ عَمَلِهِ غَيْرُهُ

"Tidak disiksa seseorang itu dengan sesuatu siksaan jika ia tidak mengerjakan dosa tersebut, dan tidak diberi ganjaran di atas amal soleh untuk orang yang tidak mengerjakannya "..20 [1]

Imam Fakhur ar-Razy rahimahullah pula menafsirkan:

اِنَّ الْحَسَنَةَ الْغَيْرِ لاَ تُجْدِى نَفْعًا وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ صَالِحًا لاَيَنَالُ خَيْرًا فَيَكْمُلُ بِمَا وَيَظْهَرُ اَنَّ الْمُسِيْئَ لاَ يَجِدُ بِسَبَبِ حَسَنَةِ الْغَيْرِ تَوَابًا وَلاَ يَتَحَمَّلُ عَنْهُ اَحَدٌ عِقَابًا.

"Sesungguhnya kebaikan orang lain tidak memberi manfaat kepada orang lain yang tidak melakukannya, sesiapa yang tidak beramal soleh ia tidak mendapat kebaikannya. Maka cukuplah dengan ayat ini sudah jelas bahawa orang yang berdosa tidak boleh mendapat ganjaran dengan sebab kebaikan orang lain dan tidak seseorangpun akan menanggung dosanya".21 [1]

Al-Hafiz Imam Jalalain rahimahullah pula menegaskan:

فَلَيْسَ لَهُ مِنْ سَعْيِ غَيْرِهِ الْخَيْرَ شَيْئٌ

"Maka seseorang tidak akan mendapat apa-apapun dari usaha orang lain".22 [1]

Ayat di atas ini amat jelas. Setiap orang mukmin yang berilmu dan beriman tidak mungkin berani mengubah ayat di atas ini kepada maksud yang sebaliknya atau menafsirkan kepada maksud dan pengertian yang bertentangan dengan penafsiran yang diizinkan oleh kaedah ulumul Quran atau syarat penafsiran yang diterima oleh syara. Tambahan pula ayat di atas ini sudah jelas makna, maksud dan pengertiannya. Ia telah ditafsirkan juga oleh jumhur ulama tafsir terutamanya Ibn Abbas melalui hadis dari Aisyah radhiallahu 'anha:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : قَالَتْ عَائِـشَةُ (لَمَّا سَمِعَتُ ذَلِكَ) حَسـْبُكُمُ الْقُرْآن ، وَلاَ تَزِرُوْا وَازِرَة وِزْرَ أخْرَى. رواه البخاري ومسلم.

"Berkata Ibn Abbas: Telah berkata Aisyah radiallahu ‘anha ketika mendengar hal tersebut: Cukuplah bagi kamu ayat al-Quran. Bahawa kamu tidak (dipertanggung-jawabkan) untuk memikul dosa orang yang lain". H/R Bukhari dan Muslim.

Imam Ibn Kathir pula menjelaskan:

اِنَّ النُّفُوْسَ اِنَّمَا تُجَازَى بِاَعْمَالِهَا اِنْ خَيْرًا فَخَيْرًا وَاِنْ شَرًّا فَشَرًّا.

"Seseorang jiwa hanya dibalas menurut amalannya. Jika baik maka baiklah balasannya dan jika amalannya jahat maka jahatlah balasannya".23 [1]

Oleh yang demikian, sepatutnya setiap mukmin dapat mengenal dan memahami ayat dan hadis yang menerangkan bahawa setiap insan hanya menuai apa yang disemainya:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ.

"Sesiapa yang mengerjakan amal yang soleh maka untuk dirinya sendiri dan sesiapa berbuat kejahatan maka (dosa-dosanya) atas dirinya sendiri dan tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba".

FUSHILAT, 41:46



وَمَا تُجْزَوْنَ اِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ.

"Kamu tidak akan diberi balasan kecuali apa yang telah kamu kerjakan".

AS SAFAAT, 37:39.

لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ.

"Baginyalah apa yang dia kerjakan dan atasnyalah apa yang dia usahakan".

AL BAQARAH, 2:286.



مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلأِنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ.

"Sesiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya dan sesiapa yang beramal soleh maka untuk diri mereka sendirilah (tempat yang menggembirakan)".

AR RUM, 30:44.

مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلاَ يُجْزَى اِلاَّ مِثْلَهَا.

"Sesiapa yang melakukan kejahatan maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan".

AL MU'MIN, 40:40.



مَنِ اهْتَدَى فَاِنَّمَا يَهْتَدِى لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُوْا وَازِرَةٌ وِزْرَ أخْـرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً.

"Sesiapa yang beramal secara yang bersesuaian dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia telah berbuat untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan sesiapa yang sesat maka kesesatan itu bagi dirinya sendiri. Seseorang yang berdosa tidak akan dapat memikul dosa orang lain dan Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami mengutus seorang Rasul".

AL ISRA', 17:15.

مَنْ تَزَكَّى فَاِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ.

"Sesiapa yang membersihkan dirinya (dari dosa-dosa) maka dia telah membersihkan dirinya sendiri".

FATIR, 35:18.



وَاتَّقُوْا يَوْمًا لاَتَجْزِى نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا.

"Dan hendaklah kamu takut kepada satu hari yang (di hari tersebut) tidak boleh seseorang melepaskan sesuatu apa pun dari seseorang yang lain".

AL-BAQARAH, 2:123.



فَالْيَوْمَ لاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلاَ تُجْزَوْنَ اِلاَّ مَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.

"Maka pada hari (Kiamat) tidak seorang pun yang teraniaya sedikit juapun dan tidak dibalas pada kamu melainkan apa yang kamu telah kerjakan".

YASIN, 36:54.



يَاايُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاخْشَوا يَوْمًا لاَ يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا.

"Hai manusia! Hendaklah kamu takut kepada satu hari (di akhirat) yang (di dalamnya) tidak boleh seseorang bapa melepaskan (sesuatu apa pun) dari anaknya dan tidak pula anaknya boleh melepaskan sesuatu apa dari ayahnya".

LUQMAN, 31:33.

مَنْ جَاهَدَ فَاِنَّهَا يُجَاهَدُ لِنَفْسِهِ.

"Sesiapa yang bekerja keras (di dunia) maka tidak lain melainkan untuk dirinya sendiri".

AL-ANKABUT, 29:6.

Imam Fakhrur Razi telah memberi komentar tentang kepercayaan bolehnya menghadiahkan pahala amalan kepada orang yang telah mati:

اِنَّ حَسَنَةَ الْغَيْرِ لاَ تُجْزِى نَفْعًا وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ صَالِحًا لاَيَنَالُ خَيْرًا فَيَكْمُلُ بِهَا وَيَظْهَرُاَنَّ الْمُسِيْىءَ لاَيَجِدُ بِسَـبَبِ حَسَنَةِ الْغَيْرِ ثَوَابًاوَلاَ يَتَحَمَّلُ اَحَدٌ عِقَابًا.

"Sesungguhnya kebaikan orang lain tidak boleh memberi manfaat kepada orang yang lain kerana sesiapa yang tidak beramal soleh ia tidak akan mendapat kebaikannya. Maka cukuplah dengan ayat ini sudah sempurna (memadai) dan jelas bahawa orang yang berdosa tidak boleh mendapat ganjaran dengan kebaikan orang lain dan tidak ada orang lain yang boleh menanggung segala dosanya (kesalahannya)".24 [1]

Imam at-Tabari juga telah menerangkan di dalam tafsirnya:

اَنَّهُ لاَيُجَازَى عَامِلٌ اِلاَّبِعَمَلِهِ خَيْرًاكَانَ اَوْشَرًّا.

"Bahawasanya tidak akan dibalas seseorang yang beramal melainkan mengikut amalannya, jika baik dibalas baik dan jika buruk akan dibalas buruk".25 [1]

Banyak nas-nas dari al-Quran yang menjelaskan perkara ini antaranya ialah firman Allah ‘Azza wa-Jalla:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ.

"Tiap-tiap jiwa (seseorang) bergantung kepada apa yang telah ia usahakan (semasa hidupnya)".

AT-THUR, 52:21.



وَاَنْ لَيْسَ لِلاِنْسَانِ اِلاَّ مَا سَعَى.

"Dan sesungguhnya manusia itu tidak akan mendapat melainkan (menurut) apa yang telah diusahakan (semasa di dunia)".

AN-NAJM, 53:39.



فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَاهُ ، وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ.

"Maka sesiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar debu pasti dia akan melihatnya dan sesiapa yang mengerjakan kejahatan seberat debu pasti dia akan melihatnya".

AZ-ZILZAL, 99:7-8.



يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ.

"Pada hari seseorang itu akan melihat apa yang telah diusahakan oleh kedua tangannya".

AN-NABA', 78:41.

Berpandukan kepada semua nas-nas dan beberapa penafsiran di atas, terbuktilah bahawa membacakan al-Quran dengan tujuan untuk menghadiahkan pahala amalan atau pahala bacaannya kepada orang lain terutamanya orang mati adalah perbuatan sia-sia yang membawa kepada bid'ah. Tambahan pula tidak pernah ada suruhan atau contoh dari Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat atau kalangan Salaf as-Soleh yang membolehkannya, maka perbuatan ini bukanlah sunnah kerana tidak ada dalilnya dari syara. Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda:

مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَى غَيْرِ اَمْرنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Sesiapa yang melakukan sesuatu perbuatan yang bukan dari suruhan kami maka ia tertolak (sia-sia dan bid’ah)”.

H/R Ibn Majah.

[1]. H/R Muslim (3084) al-Wasaya. Turmizi (1298) al-Ahkam. Nasaii (3591) al-Wasaya. Abu Daud (2494) al-Wasaya. Ahmad (8489) Musnad.

[2]. H/R Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmizi dan an-Nasaii.

[3]. H/R Bukhari, Muslim dan an-Nasaii

[4]. H/R Bukhari dan an-Nasaii.

[5]. H/R an-Nasaii dan Imam Syafie. Hadis sahih.

[6]. H/R Bukhari, Turmizi dan an-Nasaii.

[7]. H/R Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmizi dan an-Nasaii.

[8]. Lihat: تفسير القرآن العظيم . ابن كثير Jld. 4. Hlm. 335.

[9]. Lihat: فتح القدير Jld. 5. Hlm. 111.

[10]. Lihat: Tafsir Ibn Kathir tentang ayat di atas.

[11]. Lihat: تفسير ابن كثير 3. 444.

[12]. Lihat: تفسير القرآن العظيم . ابن كثير Jld. 4. Hlm. 330.

[13]. Lihat: الطبرى (27-29).

[14]. Lihat: الطبرى (27:40).

[15]. Lihat: Tafsir al-Fakhrur ar-Razy. 7:788.

[16]. Lihat: Tafsir Jalalain, 2:198.

[17]. Lihat: ابن كثير. Jld. 3. Hlm. 444.

[18]. Lihat: الفحر الرازى Jld. 7. Hlm. 738.

[19]. Lihat: الطبرى Hlm. 27.

Wednesday, October 28, 2009

Wahhabi

Wahhabi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Bagian dari rangkaian
Islamisme
Ikhwanul Muslimin • Deobandi • Barelwi • Hizbullah • Hizbut Tahrir • Salafi • Wahhabi • Jamaat-e-Islami
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 A. Pengertian wahabi
o 1.1 1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:
o 1.2 2. Dalam sebuah hadits disebutkan;
o 1.3 Catatan kaki:

A. Pengertian wahabi

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad. Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa'ul Husnaa)


Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, belajar hadits dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat dan bid'ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini."

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para shahabat, keluarga Nabi, (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam,hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Allah semata.

Di Madinah, Ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, serta berdoa (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Quran dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Al-Quran menegaskan,

"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." (Yunus: 106)

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:


"Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaummnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:

Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." (Shaad: 5)

Musuh-musuh Syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhana wa Ta'ala menjaganya dan memberinya penolong sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.


Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya, mereka mengatakan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima [1]padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hanbali. Sebagian merekamengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam serta tidak bershalawat di atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab - rahimahullah- telah menulis kitab Mukhtashar Siiratur Rasul shalallahu 'alaihi wasallam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Quran, hadits dan ucapan shahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Dalam sebuah hadits disebutkan;

"Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallahu 'anhuma dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.
3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddi (pembaharu) abad dua belas Hijriyah.

Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-Tokoh Sejarah", di atanra mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, aqidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi aqidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan, karena mereka mengetahui bahwa aqidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (orang-orang bayaran) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah sehingga memalingkan umat Islam dari aqidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdoa hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pember), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikananya masuk Surga.


Catatan kaki:

1. ^ Sebab yang terkenal dalam dunia fiqih hanya ada empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.(Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haq, Cetakan II, hal. 55-62

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Wahhabi"
Kategori: Artikel yang perlu dirapikan | Istilah Islam | Islam

Muhammad bin Abdul Wahhab

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Ulama Islam
Era modern
Saudi Arabia
Nama: Muhammad bin 'Abd al-Wahab
Lahir: {{{birth}}}
Aliran/tradisi: Sunni Salafi
Minat utama: Pemurnian syariat Islam sesuai ajaran Muhammad
Gagasan penting: Melarang adanya inovasi ibadah (bid'ah) dan meyakini adanya kekuatan selain Allah (syirik)
Dipengaruhi: Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim, Ahmad bin Hanbal,
Mempengaruhi: Bin Baz
Uthaymin
al-Albani
Syekh Ahmad Khan

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M); nama lengkap: Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi (Arabic:محمد بن عبد الوهاب التميمى) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan salafiah yang pernah menjabat sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Peninggalan
* 2 Kehidupan
o 2.1 Masa Kecil
o 2.2 Kehidupan Syeikh Muhammad di Madinah
o 2.3 Belajar dan berdakwah di Basrah
* 3 Perjuangan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam
o 3.1 Awal Pergerakan
o 3.2 Syeikh Muhammad di Dariyah
o 3.3 Berdakwah Melalui Surat-menyurat
o 3.4 Tantangan Dakwah Beliau dan Pemecahannya
* 4 Penutup
* 5 Wafatnya Beliau
* 6 Dengarkan Juga

[sunting] Peninggalan

Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam; para pendukung pergerakan ini sering disebut wahabbi, tetapi mereka menolak istilah ini karena pada dasarnya ajaran bin Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".

Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.

Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun(3) (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
[sunting] Kehidupan
[sunting] Masa Kecil

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakeknya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.

Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah

Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".

Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
[sunting] Kehidupan Syeikh Muhammad di Madinah

Ketika berada di kota Madinah, ia mengira banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini menurut dia sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.


Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana sesuai keyakinannya, yaitu kepada akidah Islam yang menurutnya murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah. Untuk itu, ia pun mulai mempelajari berbagai buku yang di tulis para ulama terdahulu.
[sunting] Belajar dan berdakwah di Basrah

Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.

Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.

Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.

Setelah beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.

Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan belajar kepada bapanya. Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan perselisihan yang hebat antara beliau dengan bapanya (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.
[sunting] Perjuangan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam
[sunting] Awal Pergerakan

Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu.

Melihat keadaan umat islam yang menurutnya sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.

Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.

Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.

Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini." Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.

Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.

Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.

Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.

Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.

Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ihsa. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)

Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.

Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke negeri Dar’iyah.
[sunting] Syeikh Muhammad di Dariyah

Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dariyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar’iyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Sulaim al-`Arini. Bin Sulaim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dariyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dar’iyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Sulaim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.

Peraturan di Dariyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada pihak berkuasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Sulaim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.

Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."

Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Sulaim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.

Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Sulaim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Sulaim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berikrar untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda Syeikh di negeri ini dalam menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Dariyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda Syeikh rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk bersama-sama anda Syeikh berjuang demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"

Kemudian anda Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dariyah, yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus membela darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, senasib, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi persada tanah Dariyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.

Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dariyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dariyah pun berduyun-duyun datang ke Dariyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dariyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi teras bagi rencana perjuangan beliau, yaitu bidang pengajian Aqaid al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya dan lain-lain.

Dalam waktu yang singkat saja, Dariyah telah menjadi kiblat ilmu dan kota pelajar penuntut Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat umum. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dariyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mula menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
[sunting] Berdakwah Melalui Surat-menyurat

Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).

Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, yang pada ketika itu adalah Dahkan bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke sleuruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.

Bukanlah berarti bahwa ketika itu tidak ada lagi perhatian para ulama Islam setempat kepada agama ini, sehingga seolah-olah bagaikan tidak ada lagi yang memperahtikan masalah agama. Akan tetapi yang sedang kita bicarakan sekarang adalah masalah negeri Najd dan sekitarnya.

Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.

Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut tetapi pada waktu itu kebanyakan di antara mereka yang kehilangan arah, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.

Demikianlah banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun terus dari pihak kerajaan Saudi sendiri ( di masa mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.

Dengan demikian, jadilah Dar’iyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dar’iyah pula menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh pelusuk negeri dengan cara membuka sekolah-sekolah di daerah-daerah mereka.

Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.

Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Karena pergerakan ini mendapat tentangan bukan hanya dari luar, akan tetapi lebih banyak datangnya dari kalangan sendiri, terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Namun, oleh karena perlawanan sudah juga digencarkan muslimin sendiri, maka orang-orang di luar Islam pula, terutama kaum orientalis mendapat angin segar untuk turut campur-tangan membesarkan perselisihan diantara umat Islam sehingga terjadi saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan.

Masa-masa tersebut telah pun berlalu. Umat Islam kini sudah sedar tentang apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab (dijuluki Wahabi). Dan satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini sudah terungkap.

Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, sama ada dari kalangan dalam Islam sendiri, mahupun dari kalangan luarnya, yang dilancarkan melalui pena atau ucapan, yang ditujukan untuk membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Islam, Imam Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Maghribi sampai ke Merauke, malah kini sudah berkumandang pula ke seluruh dunia.

Dalam hal ini, jasa-jasa Putera Muhammad bin Saud (pendiri kerajaan Arab Saudi) dengan semua anak cucunya tidaklah boleh dilupakan begitu saja, di mana dari masa ke masa mereka telah membantu perjuangan tauhid ini dengan harta dan jiwa.

Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.

Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.

Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:

"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."

Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."

`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."

Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.

Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’

Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.

Kami dituduh tidak mahu mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu 'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.

Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawapan, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.

Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)

Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid Nabi dan melakukan solat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."
[sunting] Tantangan Dakwah Beliau dan Pemecahannya

Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).

Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.

Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.

Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk: 1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama, 2. Atas nama politik yang berselubung agama.

Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.

Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.

Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan celaan orang yang mencelanya.

Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:

1. Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.

2. Golongan ulama taashub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.

3. Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.

Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.

Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.

Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab, yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.

Beliau pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.

Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.

Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.

Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.

Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.

Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, mahupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
[sunting] Penutup

Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
[sunting] Wafatnya Beliau

Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).

Musibah & Bala Bencana Adalah Teguran Dari Allah

Oleh Althaf pada Sabtu 10 Oktober 2009, 01:03 PM
Print Recommend (10) Comment (16) Share

Ditulis oleh: Abu Jibriel

Dari berbagai rangkaian musibah, ujian dan bala bencana yang menimpa manusia, khususnya negeri ini, adalah karena perbuatan maksiat dan dosa mereka kepada Allah Swt dan RasulNya dalam merespon dakwah para Nabi dan Rasul-rasul Allah Swt. Selain itu mereka juga mendustakan ayat-ayat Allah, mengkufuri nikmat-nikmatNya dan menukarkan kenikmatan itu dengan kekafiran, serta para penguasa dan pembesar-pembesarnya menukar hukum Allah dengan hukum jahiliyah dan kecenderungan masyarakat memilih serta mengikuti tradisi nenek moyang dengan ajaran sesatnya yang bertolak belakang dari hidayah dan Sunnah Rasulullah Saw.

Al Qur’an menjelaskan, membenarkan hal tersebut, Allah Swt berfirman:

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al Qhashash, 28 : 59)

FirmanNya lagi:

“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud : 117)

FirmanNya lagi:

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisaa : 147)

FirmanNya lagi:

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al Isra, 17 : 16)

FirmanNya lagi:

“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al Isra, 17 : 58)

FirmanNya lagi:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari dosa-dosamu.” (QS. As Syura, 42 : 30)

FirmanNya lagi:

“Dan Allah Telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl, 16 : 112)

FirmanNya lagi:

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ibrahim, 14 : 28-29)

FirmanNya lagi:

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan dimuka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat yang diderita oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat dri merka,mereka telah mengolah bumi dan memakmurkannya lebih banyak dari apa yang mereka makmurkan.Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa keterangan dan bukti-bukti yang nyata.Maka Allah sekali-kali berlaku dzalim kepada mereka ,tetapi merekalah yang berlaku dzalim terhadap dir mereka.Kemudian akibat orang-orang yang melakukan kedurhakaan dan kejahatan adalah azab siksa yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olok.” (QS. Rum, 30 : 9-10).

Dan firmanNya lagi:

“(ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya”. (Allah berfirman): “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, Maka Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Kalau kamu melihat ketika Para Malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri), demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya, (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi amat keras siksaan-Nya, (siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri [Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.], dan sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui, (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman.” (QS. Al An fal, 8 : 49-55)

Demikianlah diantara ayat-ayat Allah yang menerangkan sebab-sebab datangnya musibah dan bala bencana.

Rasulullah Saw juga menerangkan akan sebab-sebab musibah dalam haditsnya:

Berkata Ummu Salamah, istri Rasulullah Saw, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

“Jika timbul maksiat pada ummatku, maka Allah akan menyebarkan azab-siksa kepada mereka.” Aku berkata : Wahai Rasulullah, apakah pada waktu itu tidak ada orang-orang shalih? Beliau menjawab: “ada!”. Aku berkata lagi: Apa yang akan Allah perbuat kepada mereka? Beliau menjawab: “Allah akan menimpakan kepada mereka azab sebagaimana yang ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat maksiat, kemudian mereka akan mendapatkan keampunan dan keredhaan dari dari Rabbnya.” (HR. Imam Ahmad)

Lima Sebab Datangnya Azab dan Siksa Allah

Rasulullah Saw bersabda:

“Bagaimana kalian apabila terjadi lima perkara, dan aku berlindung kepada Allah mudah-mudahan lima perkara itu tidak terjadi pada kamu atau kamu tidak menjumpainya, yaitu,

Tidaklah perbuatan zina itu tampak pada suatu kaum, dikerjakan secara terang-terangan, melainkan tampak dalam mereka penyakit ta’un dan kelaparan yang tidak pernah dijumpai oleh nenek moyang dahulu.
Dan tidaklah kaum itu menahan zakat, melainkan mereka ditahan oleh Allah turunnya hujan dari langit, andai kata tidak ada binatang ternak tentu mereka tidak akan dihujani.
Dan tidaklah kaum itu mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka disiksa oleh Allah dengan kesengsaraan bertahun-tahun dan sulitnya kebutuhan hidup dan nyelewengnya penguasa.
Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka itu menghukumi dengan selain kitab yang diturunkan oleh Allah, melainkan mereka akan dikuasai oleh musuh yang merampas sebagian kekuasaan mereka.
Dan tidaklah mereka itu menyia-nyiakan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya, melainkan Allah menjadikan bahaya di antara mereka sendiri.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Lima Belas Perkara Mendatangkan Musibah & Bala Bencana

Dari Ali bin Abi Thalib Ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Apabila umatku telah melakukan lima belas perkara, maka halal baginya (layaklah) ditimpakan kepada mereka bencana.” Ditanyakan, apakah lima belas perkara itu wahai Rasulullah?

Rasulullah Saw bersabda: “Apabila…

Harta rampasan perang (maghnam) dianggap sebagai milik pribadi,
Amanah (barang amanah) dijadikan sebagai harta rampasan,
Zakat dianggap sebagai cukai (denda),
Suami menjadi budak istrinya (sampai dia),
Mendurhakai ibunya,
Mengutamakan sahabatnya (sampai dia),
Berbuat zalim kepada ayahnya,
Terjadi kebisingan (suara kuat) dan keributan di dalam masjid (yang bertentangan dengan syari’ah),
Orang-orang hina, rendah, dan bejat moralnya menjadi pemimpin umat (masyarakat),
Seseorang dihormati karena semata-mata takut dengan kejahatannya,
Minuman keras (khamar) tersebar merata dan menjadi kebiasaan,
Laki-laki telah memakai pakaian sutera,
Penyanyi dan penari wanita bermunculan dan dianjurkan,
Alat-alat musik merajalela dan menjadi kebanggaan atau kesukaan,
Generasi akhir umat ini mencela dan mencerca generasi pendahulunya;
Apabila telah berlaku perkara-perkara tersebut, maka tunggulah datangnya malapetaka berupa; taufan merah (kebakaran), tenggelamnya bumi dan apa yang diatasnya ke dalam bumi (gempa bumi dan tananh longsor), dan perubahan-perubahan atau penjelmaan-penjelmaan dari satu bentuk kepada bentuk yang lain.” (HR. Tirmidzi, 2136)

Itulah perkara-perkara yang menyebabkan suatu negeri mengalami kekacauan, kehancuran, kesempitan, kemelaratan, perseteruan, dan perpecahan satu sama lainnya, antara rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan penguasa. Korupsi dan ketidakadilan merajalela, segala macam penyakit bermunculan menimpa manusia, yang benar-benar menyulitkan dan membinasakan kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Oleh sebab itulah, Rasulullah Saw berdoa agar sahabat-sahabatnya tidak menjumpai keadaan yang demikian dahsyat dan terpuruknya. Dari semua perkara yang menyebabkan datangnya siksa dan azab itu. Insya Allah akan berakhir jika manusia dan kaum Muslimin khususnya kembali kepada Allah dan Rasul Nya, berpegang teguh kepada Dinullah (Islam yang sebenar-benarnya, menurut Al Qur’an dan As Sunnah) mengikut petunjuk Rasulnya.

Sebagai penutup, renungkanlah firman Allah Swt berikut serbagai introfeksi kita semua:

”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri Beriman dan Bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf, 7: 96)

Wallahu’alam bis showab…

Monday, April 6, 2009

Sejarah Ringkas Muhamad Abdul Wahab

Sejarah Ringkas Muhamad Abdul Wahab
Agustus 20, 2007

Sumber:http://alhusseyn51.blogspot.com/2007/01/muhamad-bin-abdul-wahab-wafat-1787.html

Sejarah Ringkasnya.
Muhamad Abdul Wahab adalah pembangun gerakan Wahabi. Beliau dilahirkan didesa ‘Iniyah di Najd tahun 1115 H dan wafat tahun1206 H dalam usia 91 tahun. Pada ketika itu daerah Hijaz , termasuk Mekah dan Medinah beraad dibawah kekuasaan Syarif-Syarif Mekah, di bawah naungan kerajaan Turki Othmaniah.

Ia belajar agama tingkat permulaan daripada bapanya , Abdul Wahab , seorang ulama’ Ahli Sunnah Wal-Jamaah. Maka memberikan nama “Wahabiah” pada gerakan Muhamad bin Abdul Wahab adalah sesuatu kekeliruan , keran Abdul Wahab ( bapanya) adalah ulama’ Ahli Sunnah , bukan berfahaman “Wahabiah”.

Juga seorang saudaranya bernama Sulaiman bin Abdul Wahab adalah seorang ulama’ Ahli Sunnah Wal-Jamaah juga , tidak menerima faham Wahabi.

Pada waktu remaja, Abdul Wahab pergi naik haji ke Mekah dan sampai ke Medinah menziarahi maqam Nabi Muhamad saw dan kembali ke Najd sesudah mengerjakan haji.
Dia datang lagi ke Mekah untuk melanjutkan pelajarannya.Dia tinggal di Mekah dan Medinah sebagai pelajar.

Pada kali kedua ini, dia tersandung pada kitab-kitab Ibni Taimiyyah, yang mengharamkan “Tawasul dan Istighatsah” , yang mengharamkan berpergian ziarah ke maqam-maqam walaupun maqam Nabi dan Wali-wali dan juga ia tercangkuk dengan pelajaran Ibni Taimiyyah tentang “Tuhan diatas” dan “Tuhan bersila” dan lain-lain sebagainya.

Maka menjadilah ia seorang ‘pemuja’ Ibni Taimiyyah dengan erti kata yang sebenar-benarnya bahkan lebih Taimiyyah dari Ibni Taimiyyah sendiri.

Tersebut dalam buku “Munjid” halaman 568 ertinya: Wahabiah adalah sebahagian dari firqah Islamiyah , di bangun oleh Muhamad bin Abdul Wahab (1702-1787). Lawannya menamakannya Wahabiah , tetapi pengikutnya menamakan gerakannya dengan nama “Muwahhidun”. Dalam Feqah mereka berpegang kepada madzhab Hambali disesuaikan dengan tafsiran Ibni Taimiyyah.

Keterangan “Munjid” ini tidak semuanya benar. Ulama’-ulama’ Wahabi itu tidak maraah kalau mereka diberi gelar “Wahabi” ; bahkan ada sebuah kitab mereka yang berjudul “ Al-Hidayatul Saniah Waltahfatul Wahabiatul–Najdiyah”.

Muhamad bin Abdul Wahab ‘terbuka matanya’ dan dia melihaaaat bahawa banyak sekali amal ibadat Ummat Islam di Medinah berlawanan dengan Sunnah Rasul menurut kacamata Taimiyyahnya , umpamanya berbundung-bundung ke Medinah menziareahi kubur Nabi Muhamad saw, kubur Saidina Hamzah di Uhud , kubur Siti Khatijah di Al-Mu’la dan lain-lain perkuburan. Ini semua adalah “ Bid’ah” katanya.

Dan dia paling tidak suka melihat seseorang berdo’a dihadapan maqam Nabi di Medinah menghadap kepada kubur Nabi , bukan menghadap ke Ka’abah. Ini juga “Syirik” katanya.
Kemudian ia dengar orang mengucapkan “Ya RasuluLLah” di hadapan maqam Nabi. Ini juga “Syirik” katanya.

Marah melihat itu semuanya maka ia pulang ke desa ‘Iniyah di Najd dan membuka pengajiannya dan langsung memfatwakan bahawa kepergian ziarah ke Maqam Nabi adalah ma’siat.Penduduk desanya tidak menerima fatwa ini dan dia diusir oleh penguasa desanya .

Kemudian dia pergi ke Basyrah, Iraq. Dia cuba pula mengeluarkan fatwa-fatwanya yang ganjil-gajil itu ; sehingga diusir lagi dari Basyrah.Dia bermaksud akan melanjutkan perjalanannya ke Baghdad dab Syria tetapi tidak punya wang ( Muqaddimah Kitab Kasyaful- Syubhat , karangan Muhamad bin Abdul Wahab, halaman 4).

Maka ia pergi ke Hasa berlindung kepada Punguasa Hasa , namanya Sheikh Abdullah bin Abdul Latif ; tetapi kemudian penguasa ini mengusirnya pula kerana tidak menyetujui pengajian-pengajian Muhamad bin Abdul Wahab ini.

Pendeknya kemana sahaja ia pergi akhirnya diusir akibat dari fatwa-fatwanya yang salah-salah , berlainan dari fatwa-fatwa ulama’ yang lazim ketika itu.Desanya sendiri , ‘Iniyah , Basyrah dan Hasa tidak menerimanya.

Abangnya sendiri bernama Sulaiman bin Abdul Wahab mengarang sebuah buku untuk menolak fatwa-fatwa Wahabi dari Muhamad bin Abdul Wahab. Buku itu bernama : “Al-Sawa ‘iqul- Muharrakah fil-ardhi ‘Alal-Wahabiah” ( Petir yang membakar untuk menolak faham Wahabiah).

Kemudian Muhamad bin Abd Wahab pindah ke sebuah negeri namanya “ Dar’iyah”. Raja Dar’iyah itu bernama Muhamad bin Sa’ud. Maka berjumpalah di Dar’iyah dua ‘Muhamad’ iaitu Muhamad bin Abdul Wahab dan Muhamad bin Sa’ud. Yang saling perlu memerlukan.
Muhamad bin Abdul Wahab memerlukan pertolongan seorang Penguasa yang dapat melindungi ‘da’wah’nya, kerana ia tidak tahan dikejar-kejar dan diburu-buru oleh penguasa-penguasa negeri yang didiaminya.

Sedang Muhamad bin Saud sebagai Penguasa di Ra’Iyah memerlukan pula seorang ulam’ yang dapat mengisi rakyatnya dengan pelajaran-pelajaran agama yang mampu memperkukuhkan kearajaannya.
Dari ketika itu bersatulah agama Wahabi dengan kekuasaan ‘Sa’udi’ atau ‘Al-Sa’ud’ atau ‘ Ibni Sa’ud’.

(Petikan dari Masalah Ugama –Kiyai Hj Sirajuddin Abbas)

Sunday, April 5, 2009

Al-Qur'an Online

al-Qur'an Terjemah Indonesia

Daftar Surat

  1. al-Fatihah (7)
  2. al-Baqarah (286)
  3. Ali Imran (200)
  4. an-Nisa' (176)
  5. al-Mai'dah (120)
  6. al-An'am (165)
  7. al-A'raf (206)
  8. al-Anfal (75)
  9. at-Taubah (129)
  10. Yunus (109)
  11. Hud (123)
  12. Yusuf (111)
  13. ar-Ra'd (43)
  14. Ibrahim (52)
  15. al-Hijr (99)
  16. an-Nahl (128)
  17. al-Isra' (111)
  18. al-Kahfi (110)
  19. Maryam (98)
  20. Thaha (135)
  21. al-Anbiya (112)
  22. al-Hajj (78)
  23. al-Mu'minun (118)
  24. an-Nur (64)
  25. al-Furqan (77)
  26. asy-Syu'ara (227)
  27. an-Naml (59)
  28. al-Qashash (88)
  29. al-'Ankabut (69)
  30. ar-Rum (60)
  31. Luqman (34)
  32. as-Sajdah (30)
  33. al-Ahzab (73)
  34. Saba' (54)
  35. Fathir (45)
  36. Yasin (83)
  37. as-Shaffat (182)
  38. Shad (88)
  39. az-Zumar (75)
  40. al-Mu'min (85)
  41. Fushshilat (54)
  42. as-Syura (53)
  43. az-Zukhruf (89)
  44. ad-Dukhan (59)
  45. al-Jatsiyah (37)
  46. al-Ahqaf (35)
  47. Muhammad (38)
  48. al-Fath (29)
  49. al-Hujurat (18)
  50. Qaf (45)
  51. adz-Dzariyat (60)
  52. ath-Thur (49)
  53. an-Najm (62)
  54. al-Qamar (55)
  55. ar-Rahman (78)
  56. al-Waqi'ah (96)
  57. al-Hadid (29)
  58. al-Mujadilah (22)
  59. al-Hasyr (24)
  60. al-Mumtahanah (13)
  61. ash-Shaff (14)
  62. al-Jumu'ah (11)
  63. al-Munafiqqun (11)
  64. at-Taghabun (18)
  65. ath-Thalaq (12)
  66. at-Tahrim (12)
  67. al-Mulk (30)
  68. al-Qalam (52)
  69. al-Haqqah (52)
  70. al-Ma'arij (44)
  71. Nuh (28)
  72. al-Jinn (28)
  73. al-Muzzammil (20)
  74. al-Muddatstsir (56)
  75. al-Qiyamah (40)
  76. al-Insan (31)
  77. al-Mursalat (50)
  78. an-Naba' (40)
  79. an-Nazi'at (46)
  80. 'Abasa (42)
  81. at-Takwir (29)
  82. al-Infithar (19)
  83. al-Muthaffifin (36)
  84. al-Insyiqaq (25)
  85. al-Buruj (22)
  86. ath-Thariq (17)
  87. al-A'la (19)
  88. al-Ghasyiyah (26)
  89. al-Fajr (30)
  90. al-Balad (20)
  91. asy-Syams (15)
  92. al-Lail (21)
  93. ad-Dhuha (11)
  94. al-Insyirah (8)
  95. at-Tin (8)
  96. al-'Alaq (19)
  97. al-Qadr (5)
  98. al-Bayyinah (8)
  99. al-Zalzalah (8)
  100. al-'Adiyat (11)
  101. al-Qari'ah (11)
  102. at-Takatsur (8)
  103. al-Ashr (3)
  104. al-Humazah (9)
  105. al-Fil (5)
  106. Quraisy (4)
  107. al-Ma'un (7)
  108. al-Kautsar (3)
  109. al-Kafirun (6)
  110. an-Nashr (3)
  111. al-Lahab (5)
  112. al-Ikhlash (4)
  113. al-Falaq (5)
  114. an-Nas (6)

Wahhabi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Bagian dari rangkaian
Islamisme
Ikhwanul MusliminDeobandiBarelwiHizbullahHizbut TahrirSalafiWahhabiJamaat-e-Islami

Daftar isi

[sembunyikan]

A. Pengertian wahabi

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad. Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa'ul Husnaa)


Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, belajar hadits dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat dan bid'ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini."

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para shahabat, keluarga Nabi, (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam,hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Allah semata.

Di Madinah, Ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, serta berdoa (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Quran dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Al-Quran menegaskan,

"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." (Yunus: 106)

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:


"Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaummnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:

Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." (Shaad: 5)

Musuh-musuh Syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhana wa Ta'ala menjaganya dan memberinya penolong sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.


Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya, mereka mengatakan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima [1]padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hanbali. Sebagian merekamengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam serta tidak bershalawat di atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab - rahimahullah- telah menulis kitab Mukhtashar Siiratur Rasul shalallahu 'alaihi wasallam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Quran, hadits dan ucapan shahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Dalam sebuah hadits disebutkan;

"Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallahu 'anhuma dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddi (pembaharu) abad dua belas Hijriyah.

Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-Tokoh Sejarah", di atanra mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, aqidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi aqidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan, karena mereka mengetahui bahwa aqidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (orang-orang bayaran) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah sehingga memalingkan umat Islam dari aqidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdoa hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pember), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikananya masuk Surga.


Catatan kaki:

  1. ^ Sebab yang terkenal dalam dunia fiqih hanya ada empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.(Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haq, Cetakan II, hal. 55-62